Lelampahan Katresnan
“Pye Le, kapan ne mu arep rabi? Kong kapan mo kaweng Mas? Gimana Lis, kapan nikahnya?”. Itulah pertanyaan yang dulu sering terlontar dari sanak family dan sahabat-sahabat di Jogja, kerabat kerja di Sulawesi yang kini menjadi tempat saya mengunduh rezeki, dan handai taulan di manapun berada. Pertanyaan-pertanyaan itu kini telah sirna tinggal kenangan. Tepat satu tahun yang lalu 8 Dzulhijjah 1434 Hijriyah, saya telah melangsungkan setengah kewajiban dari agama saya. Alhamdulillah!
Weton
Cerita sedikit tentang penentuan tanggal untuk hari H dulu ya. Munculnya tanggal itu sebenarnya melalui proses yang panjang dan cukup rumit, malah kayaknya lebih rumit dari game Sudoku level hard, hehe. Dari pertengahan September 2012 sampai pertengahan tahun 2013 lamanya hanya untuk mencari hari H. Padahal dari Hari Ahad sampai Sabtu ga bakalan ketemu yang namanya hari H, Hari Hamis kali ya, hehe. Mungkin kalau mau download program Mozilla yang sekarang sudah sampai Firefox.32.0.3, bisa jadi penetuan hari H ini kalau diprogramkan sudah sampai di Weton 13.10.13. Maklum orang Jawa kalau mau hajatan termasuk mau nikah mesti dihitung dulu weton-nya. Katanya biar ga ada apa-apa nantinya kalau dah menikah. Weton kedua mempelai harus dihitung dulu supaya terhindar dari nogo dino (hari sial). Hmmm, sebenarnya saya sama sekali tidak terlalu peduli dengan hal-hal seperti itu.
Simbah Kakung saya memang keras soal weton ini. Beliau kalau sudah punya pendirian kungkeng banget. Apalagi soal penentuan hari pernikahan saya, simbahlah yang berkuasa penuh dalam menentukan. Bapak saya juga ga bisa membantahnya. Bahkan bapak ibu mertua saya sempat bingung juga menghadapi keras kepalanya simbah. Padahal acara akad nikah dan resepsi di tempat istri saya, tentunya yang paling afdol menentukan hari adalah keluarga istri saya. Untungnya pihak keluarga istri mau mengerti dan malah mengajak rembugan dengan simbah. Sebenarnya waktu itu saya ingin sekali memberi saran ke simbah supaya bapak dan orang tua istri saya saja yang ngurus, tapi setelah dipikir-pikir lagi kok malah nantinya ga baik. Apalagi beliau sudah sepuh dan masih dalam kondisi sembuh dari sakit jadi ya sudahlah, turuti saja kemauannya. Pernah satu kali beliau bingung sendiri dengan hari yang akan ditentukan. Saya agak lupa tepatnya. Kalau ga salah simbah bingung karena hari yang ditawarkan keluarga istri saya itu pas hari meninggalnya salah satu keluarga kami yang meninggal. Beliau sampai konsultasi dengan kakaknya, Mbah Mento. Tapi karena sudah terlanjur bingung, sampai dibukakan primbon jadulnya Mbah Mento segala dan dikasih saran jangan terlalu perhitungan, eh malah Simbah Kakung jadi ribut sendiri dengan Mbah Mento. Mbah Mento bilang “lha nek kabeh sedulur tok etung bakal kentekan dino koe Ndi!”. Jadinya Weton Error Programs deh.
Setelah beberapa bulan harap-harap cemas di perantauan mendengar kabar penentuan hari H yang sering berganti karena pas meninggal-nya si ini lah si itu lah, pas nogo dino lah, di pertengahan bulan Maret 2013 pas lagi sibuk-sibuknya tahapan Pilwako dapat juga kabar penentuan hari H di bulan Agustus. Kalau ga salah hari H-nya ditentukan pas awal-awal hari lebaran Idul Fitri. Selain katanya hitungan weton yang bagus, saya senang karena pas libur lebaran, pas pulang kampung dan sudah plong karena Pilwako Kotamobagu 2013 di bulan Juni sudah usai jauh sebelum bulan Agustus. Waktu itu rencananya akan ada acara adat Seserahan dan akan dilanjutkan dengan akad nikah yang kemudian disempurnakan dengan pesta resepsi. Tapi lagi-lagi simbah jadi ragu lagi karena setelah dihitung-hitung, kalau Seserahan langsung dilanjutkan dengan akad nikah dan resepsi tidak terlalu baik hitungannya. Dan benar saja, bulan penetapan di hari awal lebaran Idul Fitri direvisi lagi. Selain menurut simbah katanya masih ada perhitungan yang kurang pas, pihak keluarga istri juga bilang terlalu mepet dengan hari raya. Khawatirnya malah merepotkan banyak orang. Apalagi istri saya waktu itu wisudanya ditunda sampai bulan yang sama, Agustus.
Akhirnya setelah dirembug lagi dan diutak-atik gathuk, Ahad Kliwon 13 Oktober 2013 bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1434 Hijriyah disepakati menjadi hari pernikahan kami. Meski sebenarnya sebelum Ahad Kliwon disepakati, hari Kamis Pahing 30 Oktober 2013 sempat menjadi pilihan. Akan tetapi dari orang tua istri saya keberatan karena khawatir tamu undangan banyak yang tidak bisa hadir disebabkan hari kerja. Padahal yang diharapkan semua tamu undangan dapat hadir untuk mendoakan secara langsung saat berlangsungnya pernikahan kami. Dan seperti biasa simbah masih ragu dengan tanggal yang sudah ditetapkan, meski akhirnya bisa menerima karena acara akad nikah dan resepsi sudah beralih dari Agustus ke Oktober dan Seserahan yang merupakan acara adat dari pihak kami mempelai laki-laki tetap akan dilangsungkan pada bulan Agustus pas awal-awal hari lebaran. Jadi akad nikah dan resepsi yang awalnya jadi satu paket dengan adat Seserahan, akhirnya dipisah waktu pelaksanaannya. Alhamdulillah, saya pun harus berkeyakinan itu adalah hari yang dipilihkan oleh Allah dan bukan karena petungan weton yang menjadikannya ada hari baik dan lainnya hari kurang baik, bahkan sampai hari sial. Rasulullah sendiri sudah mengingatkan kita untuk menghindari keyakinan akan datangnya sial pada peristiwa tertentu atau hari-hari tertentu atau yang bahasa Arabnya sana disebut thiyarah. Karena thiyarah itu termasuk perbuatan syirik.
Semua Tanggal Baik
Lantas apakah dengan perhitungan weton yang akurat dan akuntabel itu sudah menjadi jaminan? Memangnya yang bisa menjamin pernikahan itu bisa mulus lurus kayak jalan tol kalau hari pernikahannya ditentukan dengan hitungan weton? “Kok bisa-bisanya itu menjadi standar? Bukannya yang menjamin semuanya itu Allah?”. Mengutip kalimat kawan saya, Husni.
Selain memang tidak disyariatkan, yang menentukan hari itu jadi baik atau buruk kan ya kita sendiri. Saya sih optimis saja, semua tanggal pernikahan adalah baik. Tawakkal kepada Allah, dan memohon semoga Allah memberkahi pernikahan kami dan keluarga kami. Selanjutnya berusaha menjadi suami istri yang bisa bekerja sama untuk membangun taqwa kepada Allah dan bekerja sama melakukan ketaatan. InsyaAllah, semoga perjumpaan pasangan muslim di dunia akan berlanjut di surga. Amiin. Syukur yang tak terkira akhirnya tanggal pernikahan pun telah ditentukan dan tambah bersyukur lagi ternyata esoknya setelah menikah bisa puasa Arafah sama-sama dan lusanya berangkat sholat ‘Ied Adha juga sama-sama. Hattrik nikmat yang tak terhingga, hehe.
Lebaran Pulang
Penentuan hari H pernikahan sudah final, Pilwako Kota Kotamobagu 2013 juga sudah dilalui. Sampai juga saatnya pulang kampung liburan lebaran untuk sungkem orang tua sekaligus menjalankan agenda persiapan pernikahan yaitu membuat undangan dan acara adat Seserahan. Untuk desain undangan sudah saya cicil dulu sewaktu di perantauan. Jadi pas pulang tinggal cari tempat percetakan. Awalnya saya kebingungan juga cari tempat percetakan. Waktu itu saya pulang pas hari-hari terakhir bulan puasa, kalau ga salah seminggu mendekati libur lebaran dan cuti bersama. Hampir semua percetakan sudah tutup, kalau misal ada sih mereka ga mau terima orderan karena banyak pekerjanya yang sudah pulkam. Untungnya saya punya teman baik dulu di SMA, Awil yang memperkenalkan temannya sekaligus tetangganya yang bekerja di perusahaan percetakan di daerah Krapyak. Mas Tri Cahyo namanya.
Setelah rembugan soal desain sampai harganya, akhirnya deal juga. Meski undangan baru mau dibikin setelah lebaran, tapi rasanya sudah lega karena undangan akan diusahakan 2 minggu selesai. Waktu itu saya pikir jangka waktu ke hari H masih sekitar 1,5 bulan, jadi masih ada waktu untuk mengirim sebagian undangan ke Sulawesi supaya saya bagikan ke kerabat di kantor dan teman-teman dekat di Kotamobagu.
Cerita sedikit soal desain undangan. Waktu itu istri minta desain yang masih beraroma adat Jawa, juga yang sederhana saja. Saya buatkan desainnya dengan gambar utama pewayangan. Berhubung untuk pernikahan, saya carinya ya gambar yang menyimbolkan pasangan. Kalau di pewayangan sebenarnya cukup banyak tokoh yang romantik, misal Rama-Sinta dan Kamajaya-Kamaratih. Tapi waktu itu pilihan saya jatuh ke Arjuna-Drupadi. Bukan apa-apa, tapi memang dapat gambarnya yang besar dan bagus cuma itu. Saya dapat gambarnya pas jalan-jalan di Pasar Beringharjo. Eh lihat taplak gambar Arjuna-Drupadi kok bagus banget jadi langsung saya foto. Dari foto itu kemudian saya path di Corel untuk dijadikan gambar vector supaya bisa saya rubah pewarnaannya dan nantinya bisa tercetak bagus.
Untuk lebih dapat kesan Njawani, saya tambahkan aksara Jawa untuk nama saya dan istri saya. Aksara itu salah satunya untuk mendampingi aksara latin nama kami, dan yang satunya sebagai kaligrafi Gunungan di bagian belakang undangan. Nah di sini banyak yang protes. Katanya aksaranya ada yang salah. Aksara yang mewakili huruf “E” dan “P” pada nama istri saya dan huruf “N” pada nama saya. Bagus juga sih ada yang memperhatikan sampai di situ. Tapi waktu itu saya jelaskan kalau aksaranya memang tidak seperti biasanya, karena itu Aksara Murda atau dalam huruf Latin dinamakan huruf Kapital. Aksara Murda kan hampir sama fungsinya dengan huruf kapital. Keduanya sama-sama digunakan untuk menulis nama tempat atau nama orang dan bisa juga gelar seseorang.
Nah yang salah itu malah tulisan “Ngunduh Mantu” tepat di bawah tulisan undangan. Saya baru tahu setelah undangan tersebar. Waktu itu Mbak Eva, saudara saya yang kasih tahu. Ternyata arti “Ngunduh Mantu” itu untuk acara Boyongan. Jadi setelah akad nikah si mempelai wanita diboyong sang suami ke rumah mempelai laki-laki. Padahal acara resepsi pernikahan kan cuma diadakan di rumah mempelai wanita bukan di rumah saya. Ah, jadi malu sendiri, sampai ga tahu arti sebenarnya dari “Ngunduh Mantu”.
Urusan undangan sudah beres, giliran beralih ke persiapan acara Seserahan. Seserahan itu seperti kurang lebihnya lamaran secara adat. Seserahan merupakan simbolisasi dari pihak pria sebagai bentuk penghormatan kepada pihak keluarga wanita. Biasanya Seserahan ini diserahkan sesaat sebelum acara akad nikah dilangsungkan. Bisa juga pada saat malam midodareni, yaitu pada saat malamnya sebelum akad nikah. Tapi bisa juga jauh sebelum hari akad nikah. Contohnya saya sendiri. Seserahan dari kami diadakan 2 bulan sebelum acara akad nikah, pas hari ke-4 Hari Raya Idul Fitri 1434 Hijriyah. Ternyata banyak sekali persiapan yang dibutuhkan untuk Seserahan. Saya fokuskan saja pada apa saja yang jadi bawaan untuk Seserahan. Barang Seserahan menurut adat istiadat Jawa menurutku cukup unik. Di sini saya jadi banyak tahu beberapa nama barang untuk Seserahan. Misalnya yang menjadi pokok itu semisal, Sri Kawin, Bombongan, Sanggan, Pesing, Kalpika, Angsal-angsal, Busana, dan tentunya Mas Kawin.
Nah yang belum tahu arti nama-nama tadi akan sedikit saya jelaskan sepanjang yang saya tahu lho ya. Sri Kawin itu biasanya berupa uang. Nominalnya tergantung kemampuan. Biasanya sih jumlahnya ditentukan pihak mempelai wanita, tetapi Alhamdulillah tidak terjadi di tempat kami, jadi memang sesuai kemampuan saja. Lanjut ke Bombongan. Wujudnya berupa ayam, biasanya memang ayam jago. Lalu Sanggan yang biasanya buah pisang dan sudah jadi keharusan jenisnya mesti pisang raja dan jumlahnya harus ganjil. Pantas di Jogja jadi mahal sampai menembus Rp. 30.000,- per sisir, padahal kalau di Kotamobagu cuma Rp. 8.000,-. Selanjutnya, Pesing. Eit bukan pesing bau ngompol atau air seni lho ya. Pesing di sini biasa berupa kain apa saja untuk bahan dijadikan pakaian. Lanjut lagi ke Kalpika. Bukan merk minuman zaman dulu lho, itu Calpico. Kalpika di sini artinya emas. Masih ada lagi Angsal-angsal yang artinya oleh-oleh, bisa apa saja. Terus Busana, ya Busana untuk pengantin lah. Nah yang terakhir Mas Kawin yang nantinya akan ditunjukkan pas acara akad nikah. Menariknya, istri saya tidak minta seperangkat alat sholat. Katanya bakal menjadi beban yang berat untuk saya. Istri saya minta Mas Kawin berupa uang yang nominalnya tidak seberapa tapi akan digunakan untuk membeli sesuatu yang bernilai investasi. Kasih tau ga ya? Rahasia ah! :-D. Untuk tambahan Seserahan, biasanya ada beras, bumbu dapur, kosmetik, buah-buahan.
Sebenarnya untuk urusan barang Seserahan ini hampir semuanya yang membuat dan merangkainya adalah Paklek saya sendiri, Lek Nano dan keluarga besar dari Ibu saya di Samben. Kalau soal merangkai Seserahan yang unik-unik serahkan ke Lek Nano. Memang dari dulu beliau adalah Master-nya bikin hiasan barang bawaan Seserahan di Trah keluarga kami, Trah Setro Dikromo. Buatannya sangat kreatif dan memuaskan. Saya hanya menyediakan bahan-bahan pokok untuk dirangkai jadi barang Seserahan kemudian untuk selanjutnya saya pasrahkan semuanya ke Lek Nano dan keluarga dari Samben. Ada yang mau menikah dan berminat dibuatkan hiasan untuk seserahannya? Nanti saya hubungkan ke Lek Nano :-D. Memang soal barang Seserahan hampir semuanya minta tolong dibuatkan sama saudara-saudara karena waktu itu saya mau mengerjakan sesuatu yang memang sudah saya rencanakan ide dan amunisinya semenjak jauh-jauh hari dan itu juga menjadi bagian dari barang Seserahan. Apa itu?
Yup, Miniatur Masjidil Haram. Sebenarnya ini bukan barang pokok dan bukan juga termasuk barang tambahan dalam Seserahan. Tapi ini murni nadzar sewaktu masih kuliah sekitar tahun 2005, semester berapa ya lupa. Waktu itu saya punya keinginan kalau nanti pas nikah pingin buat minatur Masjidil Haram dari uang logam untuk calon istri tercinta. Nah semenjak itu saya sering mengumpulkan uang logam yang saya dapat dari uang kembalian. Lain kali saya juga menukarkan dengan teman dan ada juga yang saya tukarkan di tempat retribusi. Memang sebenarnya target waktu itu mau ngumpulin uang koin Rp. 500,- warna kuning dan Rp 1.000,- warna putih kuning, yang kuningnya di tengah gambar kelapa sawit. Tapi karena koin Rp. 1.000,- yang jenis begitu cuma dapat sedikit akhirnya saya tukar dengan uang Rp. 1.ooo,- yang baru gambar angklung. Ga apa-apa malah jadi lebih kinclong.
Waktu itu saya harus membuatnya dalam waktu yang tidak panjang, karena puasa akan berakhir 3 hari lagi dan acara Seserahan pas hari ke-4 lebaran. Jadi target pembuatan miniatur Masjidil Haram harus selesai tidak kurang dari 5 hari. Padahal kendalanya itu pas ngebersihin uang logamnya. Lama nian! Saya kira kalau sudah di-Brazzo langsung Cling, eh ternyata mesti digosok-gosok yang kuat dan lumayan memakan waktu karena harus menggosoknya satu per satu. Padahal jumlahnya sekitar 3000-an keping. Duh bisa-bisa sampai acara masih terus gosok-gosok nih. Untungnya saya masih ada saudara-saudara yang mau meluangkan waktunya untuk membantu. Kang Anangqoshim, Anang Jering, Heruyana, dan Kiman menjadi bala bantuan di saat waktu mepet. Tidak hanya membersihkan uang logam supaya mengkilap tapi juga ikut menempelkannya di styrofoam (gabus) yang sudah saya bentuk untuk kerangka miniatur masjidnya. Kerja keras kami akhirnya terbayar. Hari kedua lebaran, Alhamdulillah miniatur Masjidil Haram akhirnya terselesaikan. Meski diakui masih banyak kekurangan, tapi saya sangat senang dengan proses pembuatannya. Memang pinginnya sesempurna mungkin, tapi tujuan sebenarnya bukan itu. Nadzar membuat miniatur Masjidil Haram menjadi pelecut suatu saat nanti saya dan istri saya untuk memenuhi Rukun Islam ke-5 di tanah suci. Amiin.
Seserahan pun dilaksanakan. Hampir sama dengan acara adat Seserahan di tempat lain. Dari pihak laki-laki membawa Seserahan untuk diserahkan kepada pihak wanita. Mungkin yang sedikit membedakan adalah pakaian. Kami serombongan memakai pakaian adat khas Jawa, Surjan. Pakaian Surjan untuk acara semacam ini memang lumrah digunakan. Akan tetapi karena semakin lama semakin ditinggalkan, seolah-olah menjadi pemandangan yang langka. Dan yang sedikit membuat berbeda adalah karena hanya jalan kaki. Maklum, istri saya tidak jauh dari rumah kami. Peknggo kalau orang Jawa bilang.
Seserahan telah berlalu, saya pun kembali ke perantauan selang sehari setelahnya. Sewaktu saya kembali ke Kotamobagu, undangan masih belum jadi. Akhirnya undangan harus dikirim lewat pos. Setelah 2 minggu akhirnya undangan sampai juga di Kotamobagu. Undangan waktu itu langsung saya antar sendiri.. antar di ruang masing-masing, kan di kantor, hehe. Tapi untuk teman-teman dan Bapak kost yang lama, apalagi teman kantor yang sudah pindah dari KPU ya antar langsung di rumah masing-masing lah.
Sekitar 1 bulan di perantauan untuk aktivitas kantor dan menyebarkan undangan, saya kemudian izin cuti dan pulang lagi tepat 2 minggu sebelum hari H pernikahan. Dalam waktu 1 minggu pertama praktis kegiatan saya lagi-lagi mengantar undangan kepada teman-teman di Jogja. Tanpa mengurangi rasa hormat, memang sebagian undangan tidak saya antar langsung dikarenakan terbatasnya waktu dan tenaga, jadi saya titipkan lewat teman-teman yang memang waktu itu mudah dan dekat untuk dikunjungi dan masih mempunyai akses ke beberapa teman yang lain yang saya sendiri sudah tidak tahu keberadaannya. Nah satu minggu terakhir menjelang hari H, sudah tentu fokus membenahi rumah untuk persiapan kalau ada tamu yang datang.
Pernikahan
Hari bersejarah pun datang! Kumandang adzan Subuh dikumandangkan, panggilan telah dilaksanakan, berdoa dipanjatkan, dan tidak kalah penting berpamitan dengan simbah kakung, bapak, dan ibu untuk memantabkan langkah menuju pelaminan yang sebenarnya hanya berjarak sekitar 100 meteran, maklum calon istri yang sekarang Alhamdulillah sudah jadi istri ditakdirkan tetanggaan, hehe.
Acara dimulai jam 8, tapi saya harus datang pagi-pagi sekali untuk didandani. Waktu itu yang merias dan menyediakan pakaian pernikahan kami adalah Bu Paidi. Gapyak orangnya, tapi beliau selalu maksa saya pakai bedak padahal saya jauh-jauh hari sudah mewanti-wanti kalau pas nikah ga akan pakai make-up. Eh akhirnya ga tau kenapa saya luluh juga meski bedak yang saya pakai cuma sedikit. Tapi justru yang sedikit itu kok saya pikir-pikir setelah lihat di foto malah jadi wagu, dadi ketok belang :-D. Ah orapopo.
Seiring waktu berjalan, acara inti pun tiba. Ijab qabul, alias Akad Nikah! Sempat tegang juga karena takut salah dalam mengucapkan lafal ijab qabul, tapi rasa galau itu langsung sirna ketika penghulu memberikan secarik kertas bertuliskan lafal ijab qabul untuk dibaca. Padahal dalam pikiran saya jauh-jauh hari pengucapan ijab qabul itu tidak boleh dengan membaca teks dan harus dihafal, eh ternyata boleh hanya dengan dibaca. Udah gitu pakai gladi bersih yang dipandu penghulu, jadi wajar pas pembacaan ijab qabul langsung lancar jaya, tidak perlu mengulang lagi.
Untuk cerita selanjutnya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Cie.. Yang pasti dan harus, saya ucapkan banyak terima kasih kepada semua sanak saudara, karib kerabat, handai taulan, teman-teman, dan rekan kerja yang hadir ke walimahan kami. Mbah Muh, guru ngaji saya sekaligus pemberi nama buat saya yang bersedia jadi saksi pernikahan kami. Bapak Camat Godean, Mas Oni dan Pak Naip serombongan dari KUA Sidoluhur. Teman-teman HRMS, KTYW, PSPA, FCK, Putra Sakti, Sidorejo FC. Teman-teman sewaktu SMP, SMA, Kuliah, sampai tempat kerja dulu di 1000dunia dan Wim Arsitek. Terima kasih juga kepada rekan-rekan KPU Kotamobagu yang waktu itu saya hampir tidak percaya dengan kedatangan mereka yang jauh-jauh datang dari Sulawesi dan sangat terharu dengan kehadiran Pak Sarmada sekeluarga dari Jakarta yang mengkhususkan waktu ke resepsi pernikahan kami. Begitu juga Paklek Bulek dan Pakde Mbokde yang datang nan jauh dari Kediri, Sidoarjo, dan Bangka. Teman-teman, sahabat, dan tetangga dulu pas merantau di Purworejo. Dan tentunya untuk semua undangan dari pihak istri yang juga telah sudi hadir di acara kami. Terima kasih juga kepada keluarga dari Bapak, keluarga Trah Setro Dikromo, keluarga Ibu dari Samben, keluarga dari Mertua, dan tidak lupa terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh warga Pare 2 yang sudah membantu pelaksanaan acara dari awal hingga akhir, khususnya para ibu-ibu yang mengepulkan asap di dapur dan seluruh pemuda-pemudi yang sejak dari prosesi Seserahan sampai resepsi selesai sudah sangat membantu kami. Terima kasih banyak. Saya doakan semoga selalu diberi keberkahan bagi kita semua. Amiin.
Dan sebagai ucapan rasa syukur 1 tahun pernikahan kami, saya mempersembahkan Kalender Hijriyah 1436 bagi siapa saja yang membutuhkannya dengan mendownload di sini.
Filed under: Poster, TBD (The Big Day) | 4 Comments
Tags: Aksara Jawa, Boyongan, Corel, Kalender Hijriyah, kaligrafi, Mantenan, Midodareni, Ngunduh Mantu, Seserahan, styrofoam, Surjan, undangan, Vector, Weton
Seikhlasnya Saja Mas
Pas legalisir fotocopy buku nikah, saya bertanya,
“Brp biaya legalisirnya Pak?”
Petugas menjawab:
“Seikhlasnya saja, Mas”
Kata beliau yg namanya KUA sedang jadi sorotan jadi paling aman bilang gitu. Selanjutnya saya pun memberi ‘keikhlasan’ dengan mengatakan ke petugas itu,
“Pak di tempat saya bekerja juga banyak yang minta legalisir”
Petugas itu langsung antusias bertanya,
“kalau Masnya biasanya minta berapa kalau ada yang legalisir?”
Saya jawab,
“Saya juga takut disorot Pak, makanya saya tidak berani minta biaya dan juga tidak berani bilang seikhlasnya. Saya cukup bilang TDK ADA BIAYA alias GRATIS, Pak.”
Petugas itu seperti salah tingkah, tapi saya biarkan semoga bisa menyadarkan. Amiin.
Filed under: Cepek Deh!, senyum kimpul | Leave a Comment
Tags: KUA, Pungli
Postingan kali ini sebenarnya satu paket dengan postingan saya sebelumnya tentang Kok Ilang Jawane? Tapi berhubung kalau dijadikan satu kayaknya jadi panjang banget jadi ya bagi dua saja. Masih seputar pembuatan plang. Namun kali ini bukan pembuatan plang penunjuk lokasi dengan tulisan Jawa, tetapi pembuatan plang untuk slogan “Kebersihan” dan sebenarnya pembuatan plang ini malah lebih dulu dari plang tulisan Jawa. Yang menarik di sini sebelum slogan-slogan itu dibuat menjadi plang, saya sengaja membuat lombanya lebih dulu.
Keinginan tuk membuat slogan sebenarnya kembali karena pengalaman masa lalu. Mungkin boleh percaya atau tidak, semenjak pulang dari magang di Jakarta tahun 2006 kebiasaan buang sampah sembarangan mulai kuhentikan. Memang dulu kebiasaan saya kalau buang sampah cuma bar-ber sakarepe dewe, termasuk buang sampah di sungai. Tapi setelah tinggal beberapa lama di Jakarta dan melihat sungai-sungainya penuh sampah, kotor, warnanya biru tua, dan baunya kayak telur busuk jadi kepikiran “Lha nanti Jogja kalo tambah rame kayak di Jakarta, apa sungainya juga akan bernasib sama kayak gini”.
Makanya setelah kelar dari magang dan balik lagi ke Jogja jadi agak ndongkol kalau liat kali kotor penuh sampah. Pernah suatu kali pas di kampung ada kegiatan kerja bakti bersih-bersih persiapan 17 Agustus. Di saat yang lain memangkas rumput di pinggir kali, saya malah sibuk ngangkatin sampah-sampah plastik dari dalam kali. Sampai ada teman yang bilang “Walah koe ki ngopo munguti plastik nang kalen?” -artinya- “Walah kamu tu kenapa mengambil plastik di sungai?”. Waktu itu dalam hati cuma bisa “Kelak kau akan mengetahuinya” :-D.
Perlu diketahui, di postingan saya yang berjudul Nahdhatul Udud juga pernah saya sampaikan. Sampah yang ditimbun di dalam tanah ditambah tingginya curah hujan, para pakar sanitasi lingkungan bilang “Kita sementara menciptakan senjata pembunuh massal bagi anak cucu kita”. Sampah plastik itu mengeluarkan cairan LINDI (Leachate) yang mengandung jenis bahan kimia berbahaya dan sangat mematikan. Begitu juga dengan sampah plastik yang mengendap di dasar kali tentu mempunyai efek kimia yang sama berbahayanya.
Pernah juga di hajatan tetangga, kebetulan di depan rumahnya ada kali. Waktu itu saudara yang punya hajatan sedang menyapu sisa-sisa makanan. Dan sudah bisa ditebak, dia langsung mengayunkan serok berisi sampah itu di kali..berrr! Tanpa ada perasaan bersalah sama sekali seakan-akan hal itu normal dan dibolehkan. Spontan waktu itu langsung saya tegur, kira-kira percakapannya kayak gini:
Saya : “Loh Mbak kok sampahe dibuang nang kali to, mbok yo nang jugangan wae”
Mbak: “Ah kesuwen Nur, wong yo ben keli bablas adoh kok”
Saya : “Weh yo mesake sing adoh to yo mbak, misal ro wong sing adoh kui kaline dinggo adus lak yo mesake to Mbak”
Mbak: “^&^$%^* (cuma diam terus cemberut plus mlengos ngacir pergi dari hadapan saya).
Begitu juga di tempat kosku yang baru miliknya Pak Hendra. Senang juga punya kos yang menyediakan tempat sampah buat kami-kami yang kos di tempatnya beliau. Saya pun kalau buang sampah jadi tidak terlalu repot. Tapi setelah beberapa hari menghuni kos yang baru, saya lihat keponakannya Pak Hendra yang sering menyapu halamam selalu membuang sampah-sampah itu di sungai dekat kos. Waduh! Setelah lihat kejadian itu berulang-ulang, saya tidak lagi membuang sampah di tempat yang sudah disediakan di depan kos. Saya pun mulai membuangnya di tempat sampah yang dikelola oleh Pemkot karena sampah-sampah itu langsung dibuang di TPA. Yah meski TPA juga bukan solusi terbaik tap paling tidak meminimalisir pencemaran sungai.
Dari pengalaman-pengalaman itu dan metode total immersion ala Pondok Gontor yang sudah saya bahas di postingan sebelum ini akhirnya menyembulkan ide untuk membuat lomba slogan tentang kebersihan yang nantinya slogan-slogan itu akan dipampang di tiap sudut jalan. Dan sebagai awal sekali lagi hal itu saya lakukan di kampung saya sendiri sekalian idep-idep sebagai sumbangsih seorang perantau kepada kampung halaman. Sengaja saya buat lombanya lebih dulu. Selain menarik lebih banyak partisipasi tetapi juga minimal si pencipta slogan juga akan menjaganya dan tentu mengamalkan apa yang telah dituliskannya 🙂
Tepat tanggal 28 September 2012, saya buat pengumumannya di dinding grup Muda Mudi Pare II yang bunyinya begini:
Wahai kawan, ayo siapa yang mau ikut peduli lingkungan Pare 2 tercinta silakan berpartisipasi!
Kebiasaan membuang sampah sembarangan sudah seperti sesuatu yg biasa, entah anak kecil sampai yang tua-tua padahal kebersihan bagian dari iman. Tidak terkecuali buang sembarangan di sungai yg merupakan sumber kehidupan.
Ane tantang kalian bikin slogan (kata-kata) yang temanya “kebersihan”. InsyaAlloh nanti akan kita jadikan rambu-rambu yang akan dipasang di tiap sudut Pare kayak gambar di bawah ini dan insyaAlloh juga ini sebagai lomba, …
Alhamdulillah, sekitar 30 lebih slogan yang tercipta dari partisipasi kawan-kawan Pare 2. Semua slogan cukup menggambarkan tentang tema. Malah ada yang kalimatnya sedikit provokatif dan menggelitik. Dari ke-30 slogan yang masuk tersebut saya seleksi lagi menjadi 5 dan Alhamdulillah juga telah benar-benar direalisasikan menjadi plang. Mau tahu kelima slogan yang membuat mata dan hati cetar ceter jedor membahana? Ini dia!
1. RESIK AGAWE BECIK, REGET AGAWE MUMET,
oleh Nur Sugiyanto
2. BUANG TEPAT, BAWA MANFAAT,
oleh Setiyadi Margon
3. BECIK KETITIK OLO KETORO, KALINE RESIK ORA MARAKE MEMOLO,
oleh Hanung Prihantaka
4. TEMPAT SAMPAH BELUM KETEMU, KANTONGI AJA DULU,
oleh Arif Fitrianto
5. BUANG DUIT DI LOTRENAN AJA BISA, MASA’ BUANG SAMPAH DI TEMPATNYA KAGAK BISA,
oleh Sigit Sopo Embuh Lali Dawane 😛
Dan sekali lagi, semoga ini hanyalah awal dari langkah-langkah besar berikutnya. Pinginnya sih nanti mempunyai semangat dan usaha yang sama dengan Bu Dewi Kusmianti yang berhasil membuat bank sampah di kampungnya RW 11 Kelurahan Cibangkong, Kota Bandung. Semangat dan pantang mengeluhnya dalam mengelola sampah benar-benar menginspirasi banyak orang. Bahkan awalnya sampai dikatain orang gila, ga ada kerjaan karena sehari-hari cuma milah-milah sampah dari warga sekitar.
Tapi berkat ketekunan dan semangatnya yang tak pernah luntur dan berhasil membuat kelompok “MyDarling” Masyarakat Sadar Lingkungan, akhirnya kini tempat sampah RT 11 Cibangkong sudah tertata bersih dan rapi dan banyak bantuan yang datang mendukung programnya. Usaha yang semula dianggap gila akhirnya bermanfaat besar untuk lingkungannya. Satu kalimat yang mungkin akan menjadi penyemangat bagi kita dari beliau,
“Lebih baik hidup dari sampah dari pada hidup menjadi sampah.”
Dan saya sangat berharap dengan slogan-slogan yang terpampang, insyaAllah akan melecut masyarakat sekitar untuk menjadi seperti yang telah dilakukan Dewi Kusmianti. Amiin.
Filed under: Uncategorized | 2 Comments
Tags: dewi kusmianti, lomba, my darling, sampah, slogan
Kok Ilang Jawane?
“Kok ilang Jawa-ne?”. Itulah penggalan komentar dari orang yang tidak setuju dengan penggantian papan nama (plang) Jalan Malioboro saat revitalisasi kawasan Malioboro Oktober tahun lalu. Papan nama jalan kawasan ikon wisata Yogyakarta ini diubah total. Warnanya berubah dengan huruf warna-warni selera anak muda yang menggandrungi K-Pop. (Kompas.com)
Penggantian plang Jalan Malioboro ini ternyata tak seindah hasil revitalisasi yang dilakukan Pemkot Yogyakarta. Alih-alih membuat kawasan menjadi lebih tertata dan berwarna, banyak sorotan yang tidak setuju dengan penggantian plang tersebut. Sebagian besar dari mereka lebih menyukai yang lama.
Papan nama dengan dasaran warna hijau, tulisan nama jalan berwarna putih disertai aksara Jawa di bagian bawah menjadi ciri khasnya hilang pada desain papan nama yang baru. Mungkin Pemkot lupa bahwa modernisasi sering menggilas tradisi dan itu berakibat kontroversi. (hehe gayane mata najwa banget). Tapi alhamdulillah kayaknya plang yang lama sudah dipasang lagi, mungkin banyak yang protes termasuk saya.
Dari kejadian tersebut, muncul akan satu hal yang patut direnungkan yaitu “yang lama teruslah dipelihara”, tentu yang berimplikasi positif. Sebagai warga Jogja sudah sepatutnya harus mewarisi dan menjaganya. Tapi memang manusiawi, ketika kita merasa kehilangan barulah sadar kalau kita tidak benar-benar menjaganya dengan baik.
Dan itu terjadi pada peninggalan leluhur orang Jawa yang seharusnya saya juga harus andil untuk mempertahankan yang baik-baik tersebut. Peninggalan itu bernama “Aksara Jawa” atau yang sering dikenal hanacaraka/huruf Carakan. Memang tidak murni dari malasnya atau keengganan kita mempelajari huruf Jawa, tapi memang situasinya dikondisikan untuk melupakannya.
Untuk contoh mungkin dari saya sendiri saja. Bayangkan, terakhir kali belajar Jawa kalau ga salah 15 tahun yang lalu pas tahun 1998 saya Kelas 2 duduk di bangku SMP. Itupun seingat saya cuma 1 jam mata pelajaran tiap minggunya karena pelajaran Jawa hanya setaraf pelajaran “muatan lokal” yang kesannya cuma yang penting ada.
Setelah itu, kelas 3 sudah tidak ada lagi pelajaran Jawa karena memang kurikulum sudah tidak mencantumkannya pada masa itu. Begitu pun juga di SMA, malah sama sekali tidak ada muatan lokal dalam kurikulum. Entah sekarang bagaimana nasibnya apakah masih ada atau tidak di kurikulum SMP atau SD jangan-jangan sudah tidak ada. Memprihatinkan!
Bangsa yang besar tapi belum cukup berhasil menghargai budayanya sendiri. Sebenarnya sih tidak cuma di budaya, soal agama yang menjadi pembentuk utama karakter manusia juga kurang dihargai. Coba Pendidikan Agama dimasukkan dalam UN. Nah Lo!
Mungkin contoh kebalikan tentang sebuah bangsa menghargai budayanya sepertinya kita perlu banyak belajar dari Thailand. Luar biasa negeri ini. Selain terkenal swasembada pangannya, mereka sangat percaya diri dengan apa yang mereka punyai dan hasilkan. Bahkan rata-rata produksi adalah orientasi ekspor.
Banyak produk rumah tangga yang ada di warung atau supermarket di Indonesia diimpor dari Thailand. Di situlah letak ke-pede-an Negeri Gajah Putih terlihat. Coba perhatikan tulisan yang ada di dalam kemasan produksinya. Hampir sebagian besar produknya ada aksara Thai sebagai pendamping Bahasa Indonesia.
Mereka sangat menghargai aksara yang mereka miliki sehingga Aksara Thai menjadi aksara nasional. Tentu ada sejarah yang panjang sehingga terbentuk menjadi aksara resmi yang dipakai Negara Thailand.
Seakan saya membayangkan, kenapa dulu pada tanggal 28 Oktober 1928 putra putri Indonesia cuma menyimpulkan 3 perkara dalam Sumpah Pemuda. Andai dulu ada 4 mungkin selain bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, bisa jadi beraksara satu.. Aksara Indonesia!
Hehe mungkin terlalu muluk kalau mikirnya sampai tingkat nasional. Lha ini kan yang dibicarakan cuma Aksara Jawa, yang punya juga orang Jawa. “Gue gampar, nyahok Lu!” Paling orang Betawi akan bilang begitu kalau yang dijadikan aksara nasional adalah Aksara Jawa.
Memang tidak mudah mewujudkan itu meski saya sendiri sangat menginginkan kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai aksara yang resmi. Sadar kalau Indonesia mempunyai suku bangsa yang sangat banyak tidak sebanding dengan Thailand yang mungkin luas wilayahnya hanya sebesar Pulau Sumatra jadi dengan mudahnya mempunyai aksara nasional.
Jadi bisa dimaklumi ketika dulu pas perumusan Sumpah Pemuda tidak mengikrarkan aksara resmi karena tiap suku di Indonesia mempunyai aksaranya sendiri-sendiri. Bayangkan kalau semua suku ingin aksaranya yang dipakai untuk nasional, bisa-bisa malah perang saudara.
Mungkin turunin dikit view-nya. Kan dari tadi juga mbahasnya tentang plang di Jogja, jadi seputar situ-situ sajalah ya. Paling tidak, dengan mengambil contoh Thailand yang sangat pede menggunakan aksaranya. Sangat mungkin Jogja juga dapat menirunya, mengingat banyak warisan budayanya yang sampai saat ini masih terjaga dengan baik.
Minimal dari hal-hal yang kecil seperti plang tadi. Pemprov Jogja bisa membuat perda dimana setiap produksi apapun itu entah makanan atau kerajinan mencantumkan kemasan/packaging-nya dengan aksara Jawa sebagai alternatif misalnya dalam petunjuk penggunaan seperti yang Thailand telah lakukan.
Bisa juga mengeluarkan instruksi kepada seluruh UKM, kios, toko, bahkan supermarket untuk menambahkan aksara Jawa sebagai tulisan pendamping di papan nama atau neon board yang biasa dipampang di depan tempat usahanya.
Tidak menutup kemungkinan Pemprov Jogja bisa menjadi suri teladan bagi masyarakat dengan mengambil kebijakan dengan membuat plakat papan nama di setiap instansi dengan aksara Jawa sebagai pendamping. Bahkan jika perlu kerjasama dengan perguruan tinggi bidang seni semisal ISI untuk membantu desain dan teknik pengaplikasiannya di tempat-tempat strategis seperti tempat wisata, taman, maupun tempat peninggalan sejarah yang sangat banyak di wilayah Jogja.
Hal ini apabila sampai terjadi akan menjadi semacam metode total immersion bahasa yang diterapkan Pondok Modern Gontor. Seperti dikisahkan oleh Ahmad Fuadi dalam novelnya “Negeri 5 Menara” dimana metode ini bagai konspirasi besar untuk membuat santri-santrinya mau tidak mau harus hafal bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Apa yang para santri dengar, lihat, dan yang ditulis maupun yang tertulis semua dalam bahasa Arab dan Inggris. Mulai dari public announcement di masjid, berita radio yang selalu memutar BBC, VOA, radio Timur Tengah, dan papan pengumuman. Bahkan komunikasi dengan mbok-mbok yang mengurusi nasi di dapur pun harus menggunakan bahasa Arab.
Luar biasa dengan cara itu dan dilakukan setiap hari serta berlaku masiv untuk seluruh penghuni pondok, lambat laun para santri mulai bisa berbahasa Arab dan Inggris. Saya yakin total immersion aksara bisa diterapkan di wilayah Jogja. Optimis!
Saya pun mulai mencoba metode itu meski cuma di ruang lingkup amat teramat kecil. Dengan modal buku Tuladha Bahasa Jawa jadul dan bantuan dari blog http://ki-demang.com/ tentang cara penulisan hanacaraka, saya juga mencoba mengaplikasikan tulisan Jawa untuk pembuatan plang penunjuk lokasi di kampung saya sendiri.
Untuk desain tentu menduplikasi dari plang Jalan Malioboro yang terdiri dari tulisan Latin dan tulisan Jawa. Untuk pembuatan plang ini, jujur kalau saya sendiri tidak akan mampu kecuali dengan bantuan berbagai pihak. Untuk tulisan, saya mendapatkan font Hanacaraka dari http://hanacaraka.fateback.com/. Sebenarnya penggunaan font ini oleh pemiliknya ada batasannya yaitu tidak digunakan untuk kepentingan komersil dan hanya boleh digunakan untuk selain itu dengan mencantumkan nama font dan website-nya.
Di sini saya juga tidak dalam rangka untuk mengkomersilkan tetapi untuk kepentingan sosial dalam bentuk informasi. Saya pun harus menghargainya dengan membuat posting ini sebagai rasa terima kasih terhadap Bung Teguh Budi Sayoga selaku pemilik website tersebut dan pembuat Hanacaraka font.
Kemudian dari tulisan yang telah dibuat, lalu diproses dengan cutting stiker Skotlet yang saya minta bantuannya Kang Icha. Cara ini lebih praktis daripada harus membuat mal tulisan dengan mengecatnya ataupun memakai pilox. Untuk pembuatan plang secara keseluruhan tentu dibutuhkan tiang dan juga lempengan besi.
Nah di sini saya mengandalkan kawan-kawan pemuda yang hebat-hebat. Mereka berhasil mengumpulkan beberapa lempeng besi dan pipa besi meski hanya dari tempat besi bekas (loak/kilonan). Lumayan bisa menekan pengeluaran. Besi bekas itu dipermak dari mengamplas sampai mengecatnya hingga terlihat baru lagi. Sangar! Apalagi dikerjakan bareng-bareng dengan sukarela dan dukarela :-p.
Spesial thanks buat Margon, Ganer, Hanung, Kewer, Yono, Dian, dkk termasuk cah cilik-cilik dan remaja yang sudah membantu. Kalian memang layak dapat bintang tapi dudu bir lho, hehe. Sori saya seperti biasa jadi provokator wae mengingat berada nun jauh di sini, tapi provokator ngajak kebaikan kok. Rapopo yo Mas Dab!
Finally, semoga ini hanya sebuah awal dari total immersion aksara dan satu bentuk pelestarian warisan budaya Jawa. Semoga di lain waktu dan tempat dapat mewujudkan yang lebih baik dan berskala ruang lingkup lebih besar lagi. Amiin! Maju terus kawan! Hidup Orrema! Jayalah AMP! (opo iki!!).
Filed under: terlupakan | Leave a Comment
Tags: hanacaraka, malioboro, plakat, plang, thailand